Siyāsah Syar'iyyah merupakan sistem politik yang mengelola urusan pemerintahan dan rakyat Islam dalam setiap aspek. Kaedah pengelolaan tersebut berdasarkan dalil-dalil syari'ah yang terdiri dari alQur'an dan SunnahNabi yang ditafsirkan oleh para ulama. Jika kaedah pengelolaan tersebut tidak disebut dalam dalil al-Qur'an dan Sunnah Nabi, maka ia diambil dari pendapat imam mujtahid dengan syarat tidak bertentangan dengan ketetapan-ketetapan umum dan kaedah-kaedah yang ditetapkan oleh syari'at Islam.Tujuan utama dari pelaksanaan Siyāsah Syar'iyyah adalah memastikan kepentingan umum masyarakat agar terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya masyarakat dari kemudharatan.Tulisan ini mengkajipraktek Siyāsah Syar'iyyah di Provinsi Aceh yang dibahas melalui dua kebijakanyakni:(1)penerapan syari'at Islam; dan (2) institusionalisasi Wilāyat al-Ĥisbah (WĤ).Kata kunci:Siyāsah Syar'iyyah, Syari'at Islam, Wilāyat al-Ĥisbah (WĤ).
Fenomena menjamurnya sektor informal di perkotaan merupakan salah satu dampak yang tidak direncanakan dari kebijakan pembangunan ekonomi politik Orde Baru, di mana hal tersebut ikut mentransformasikan masyarakat desa dengan bekerja di kota pada pagi hari dan kembali ke desa pada sore hari. Secara lokal istilah tersebut dikenal sebagai Glidik. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memahami dinamika glidik dan kontribusinya terhadap perbaikan ekonomi keluarga di Pedukuhan Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari sebelah Selatan Kota Yogyakarta. Metode studi kasus (case study) digunakan untuk mencapai tujuan penelitian dengan khalayak sasaran warga pelaku glidik di luar desa yang berasal dari Pedukuhan Sompok. Teknik pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa kecenderungan untuk bekerja di sektor non pertanian diperkotaan mulai berkembang di masyarakat dengan di dukung oleh tersedianya sarana transportasi yang memudahkan masyarakat untuk beralih mencari kerja di sektor informal. Glidik bagi masyarakat Sompok tidak hanya membantu mengurangi beban perekonomian dan masalah sosial (pengangguran terbuka dan kemiskinan) di masyarakat, namun glidik juga berkontribusi penuh untuk memenuhi keperluan rumah tangga jangka panjang masyarakat di Pedukuhan Sompok, baik untuk kebutuhan primer seperti konsumsi, maupun untuk pemenuhan kebutuhan- kebutuhan yang bersifat sekunder. Hal ini terbukti dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa penghasilan dari bekerja sebagai glidik pada keluarga di Pedukuhan Sompok tidak lagi digunakan untuk sekedar pemenuhan materi semata, namun juga memenuhi konsep penyimpanan (saving). Kata Kunci: Glidik, Ekonomi Masyarakat Desa, Konsep Saving
In the context of Aceh, the word "Ulama" refers to an Islamic scholar who own boarding school (In Aceh language known as Dayah) or a leader of an Islamic boarding school (known as Teungku Dayah). Ulama become "the backbone" of any social problem and play strategic and influential roles in Acehnese society. However, The Ulama roles have changed in the post-conflict era in Aceh. The assumption that Ulama are unable running their authorities in Acehnese society especially in the post-conflict era. Ideally, their roles are needed in the reconciliation regarding the agents of reconciliation who have authority like the Ulama and are trustworthy by Acehnese society. Therefore, this article aims to discuss the position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh. To investigate the problem, a descriptive qualitative method was used, where the method is to describe the nature of a temporary situation that occurs when the research is carried out in detail, and then the causes of the symptoms were examined. The data were literature studies, participatory observation, and in-depth interviews. The results of this research showed that during an important period of Aceh's history, the Ulama constantly become guardians that provide a religious ethical foundation for each socio-political change in Aceh, and subsequently they also act as the successor to the religious style that developed in the society. Even the formation and development of the socio-political and cultural system occurred partly on the contribution of the Ulama. The position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh can be found in four ways. Firstly, knowledge transmission. Secondly, as a legal decision-maker which refers to Sharia law, especially related to the reconciliation process. Thirdly, as a mediator. Fourthly, cultural roles in the form of ritual or ceremonial guides that are carried out when the parties of the conflict have met an agreement to reconcile.
In the context of Aceh, the word "Ulama" refers to an Islamic scholar who own boarding school (In Aceh language known as Dayah) or a leader of an Islamic boarding school (known as Teungku Dayah). Ulama become "the backbone" of any social problem and play strategic and influential roles in Acehnese society. However, The Ulama roles have changed in the post-conflict era in Aceh. The assumption that Ulama are unable running their authorities in Acehnese society especially in the post-conflict era. Ideally, their roles are needed in the reconciliation regarding the agents of reconciliation who have authority like the Ulama and are trustworthy by Acehnese society. Therefore, this article aims to discuss the position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh. To investigate the problem, a descriptive qualitative method was used, where the method is to describe the nature of a temporary situation that occurs when the research is carried out in detail, and then the causes of the symptoms were examined. The data were literature studies, participatory observation, and in-depth interviews. The results of this research showed that during an important period of Aceh's history, the Ulama constantly become guardians that provide a religious ethical foundation for each socio-political change in Aceh, and subsequently they also act as the successor to the religious style that developed in the society. Even the formation and development of the socio-political and cultural system occurred partly on the contribution of the Ulama. The position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh can be found in four ways. Firstly, knowledge transmission. Secondly, as a legal decision-maker which refers to Sharia law, especially related to the reconciliation process. Thirdly, as a mediator. Fourthly, cultural roles in the form of ritual or ceremonial guides that are carried out when the parties of the conflict have met an agreement to reconcile. ; Dalam konteks Aceh, "Ulama" merujuk pada sosok individu yang memiliki Dayah (pesantren) atau pimpinan Dayah yang terkenal dengan sebutan Teungku Dayah. Pada ranah sosial, Ulama Aceh merupakan "tulang punggung" keputusan dalam berbagai hal. Ulama hadir sebagai kelompok strategis dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Namun, pasca konflik Aceh, telah terjadi dinamika pergeseran peran ulama di Aceh. Ada anggapan bahwa ulama tidak lagi mampu menjalankan otoritasnya dalam masyarakat, terutama pada masa pasca konflik. Padahal idealnya, ulama turut berperan dalam proses rekonsiliasi, mengingat saat ini belum ada agen rekosiliasi yang memiliki otoritas seperti ulama dan benar-benar dapat dipercaya oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mendiskusikan tentang posisi Ulama Aceh dalam proses rekonsiliasi pasca konflik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara terjadi pada saat penelitian dilakukan secara detail, dan kemudian berusaha memeriksa sebab-sebab dari gejala tersebut. Data dalam penelitian ini bersumber dari studi pustaka, obeservasi partisipatoris dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam setiap periode penting seajarah Aceh, ulama selalu hadir sebagai satu kekuatan yang memberi ladasan etis keagamaan bagi setiap perubahan sosial-politik di Aceh, dan selanjutnya ulama bertindak sebagai penerus corak keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Bahkan pembentukan dan perkembangan sistem sosial-politik dan budaya masyarakat Aceh terjadi sebagian atas kontribusi para ulama. Adapun Posisi ulama dalam proses rekonsiliasi di Aceh pasca konflik dapat dilihat dalam empat hal. Pertama, transmisi pengetahuan. Kedua, sebagai pengambil keputusan hukum yang bersumber dari ajaran Islam, terutama terkait dengan proses rekonsiliasi. Ketiga, sebagai mediator. Keempat, peran kultural yang berupa pemandu ritual atau seremonial yang dilakukan ketika pihak yang bertikai sudah menemukan kata sepakat untuk berdamai.